Analisa kasus
perpecahan antar suku dipandang menurut nilai-nilai pancasila
Sebagai negara
kepulauan terbesar Indonesia memiliki banyak RAS, suku dan budaya beragam.
Menurut badan riset, data suku-suku yang ada di Indonesia mencapai kurang
lebihnya lebih dari 300 kelompok suku atau etnik. Namun dikarenakan banyaknya
suku yang berbeda dengan budaya yang berbeda pula, seringkali terjadi konflik
yang melibatkan konflik anatar suku yang menjadi suatu perstiwa yang tidak bisa
dihindarkan lagi.
Konflik merupakan hal
atau masalah yang lazim atau biasa terjadi di lingkungan masyarakat. Dimana
lagi-lagi perbedaan menjadi latar belakang yang mendasar dalam setiap konflik
perang antar suku di Indonesia.
Peperangan antar suku akhir-akhir ini menjadi bahan pekerjaan pemerintah untuk
menetralisir kekisruhan yang sering terjadi khususnya peperangan antar suku.
Konflik tersebut terjadi karena saking beragam nya suku-suku di Indonesia dan
berawal dari banyaknya suku-suku yang ada tersebut konflik-konflik pembeda atau
masalah budaya yang berbeda dan variatif mulai bermunculan.
Salah satu contoh dari
konflik yang sempat menarik perhatian adalah perang suku antara suku Dayak dan
Madura. Peperangan antara Suku Dayak dan Madura menimbulkan sebuah pergeseran
moral tentang bagaimana seharusnya saling menghargai perbedaan. Nyawa bukan
lagi menjadi hal yang mahal saat itu. Pemenggalan terhadap kepala manusia saat
itu seolah menjadi bukti bahwa kebencian telah benar-benar mengerikan. Penyebab
terjadinya perang kedua suku ini yaitu karena perbedaan budaya antara Suku
Dayak dan Suku Madura, perilaku yang tidak menyenangkan, pinjam meminjam tanah
dan ikrar perdamaian yang dilanggar. Kejadian ini memang telah lama berlalu.
Tapi konflik tersebut bagaimanapun akan tetap meninggalkan kesan mengerikan
yang mendalam bagi masyarakat kedua suku tersebut.
Setiap suku tentu
memiliki budaya, adat-istiadat dan kebiasaan tertentu yang beragam.
Keanekaragaman tersebut tentu memabawa dampak dan kosekuensi sosial yang
beragam pula. Jika hal ini tidak dapat disikapi dengan baik maka perbedaan
tersebut justru akan terus manjadi faktor utama penyebab terjadi perang antar
suku.Setiap suku akan menginterpretasikan budaya yang mereka miliki dalam
lingkungannya sehingga terciptalah stereotip yang dapat mengakibatkan
lestarinya perbedaan. Penonjolan strereotip suatu suku amat berbahaya. Namun
faktanya, stereotip dan stigma buruk itu tetap hidup. Bahkan, tanpa disadari
kian meluas. Bahaya karena hal ini dapat menimbulkan pepecahan perang antar
suku pun menjadi hal yang tak bisa dihindarkan.
Stereotip orang Madura
dalam pengetahuan orang Indonesia kadang identik dengan watak yang kasar dan
keras. Sering menyelesaikan masalah dengan emosi, mengakhiri sengketa dengan
cara duel maut yang berunjung kematian. Penyebabnya adalah dendam atau
pembalasan pihak keluarga dan kerabat yang terluka hingga tewas. Walaupun
stereotip itu keliru dan berbahaya, hal tersebut seakan melekat dalam benak
keindonesiaan kita. Itulah yang sering memicu terjadinya kerusuhan etnis atau
suku di Indonesia bahkan berkembang menjadi perang antar suku.
Konflik sering terjadi
di kalangan masyarakat karena manusia makhluk sosial dan memiliki beragam
pemikiran dan cara masing-masing untuk bersosialisasi. Konflik tersebut
biasanya terjadi karena hal sepele seperti prasangka negatif tapi berhubung
menyangkut RAS atau budaya maka rasa simpati antar sesama budaya yang membuat
peperangan tersebut menjadi bukan hal yang sepele lagi bahkan hingga terjadinya
perang antar suku. Oleh karena itu saya memuat makalah dengan mengangkat judul
Konflik Antar Suku di Indonesia yang merupakan wujud dari prasangka,
diskriminasi dan etnosentrisme.
Suatu konflik
khususnya yang terjadi antar suku umumnya didasari oleh tiga hal yaitu
prasangka, diskriminasi, dan etnosentrisme. Tiga hal ini menjadi faktor utama
yang melatar belakangi terjadinya koflik antar suku yang berujung kepada perang
antar suku. Prasangka yang buruk terhadap suku lain menjadi sangat umum di
indonesia hal tersebut dilatarbelakangi sikap etnosentrisme suatu suku. Sikap
ini menimbulkan prasangka terhadap suku lain sehingga terjadinya diskriminasi
sosial. Diskriminasi sosial yang berkelanjutan inilah yang dapat menimbulkan
konflik yang berujung kepada perang antar suku.Selain disebabkan
oleh ketiga hal itu beberapa ahli juga memaparkan faktor-faktor lain yang
menjadi penyebab terjadinya konflik antar suku.
Faturochman
menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya
konflik etnis terjadi disebuah tempat. Enam hal tersebut antara lain yakni:
1) Kepentingan
yang sama diantara beberapa pihak
2) Perebutan
sumber daya
3) Sumber
daya yang terbatas
4) Kategori
atau identitas yang berbeda
5) Prasangka
atau diskriminasi
6) Ketidakjelasan
aturan (ketidakadilan).
Konflik antar etnis
yang terjadi dapat dikatakan karena kepentingan beberapa oknum atau pihak yang
memang bertujuan untuk mengambil untung dari konflik tersebut. Etnis etnis yang
saling berkonflik sangat mudah di adu domba karena memang sumber daya manusia
yang terbatas. Dalam arti pendidikannya kurang dan tingkat ekonomi yang rendah.
Seharusnya dari masing masing kepala daerah yang ada di wilayah konflik
tersebut harus tegas membuat atau merealisikan kebijkan ketika terjadi sebuah
konflik antar etnis.
Dalam konteks
Indonesia sendiri, kita kerap kali mendengar terjadinya konflik antar etnis.
Sebenarnya akar dari konflik ini adalah keterbelakangan dari masyarakat di
wilayah konflik tersebut. Sementara itu, Sukamdi menyebutkan bahwa konflik
antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama,yaitu:
1) Konflik
muncul karena ada benturan budaya
2) Karena
masalah ekonomi politik
3) Karena
kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Menurutnya konflik
terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan
terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi
konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial,
dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme
yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki
atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak
mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Sikap etnosentrisme
yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan
orang-orang untuk memahami perbedaan.Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat
seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih
berprasangka, yang akan menjadi konflik.
Selain perpecahan suku yang terjadi
antara Suku Dayak dan Suku Madura yang berbeda provinsi, terjadi juga
perpecahan antar suku dalam satu provinsi yang sama yaitu perpecahan di Papua.
Seperti yang terjadi sejak tanggal
24 juli 2016 di wilayah Iliale,
Kampung Tunas Matoa, Distrik Kwamki Narama, Kabupaten Mimika .Kasus ini
sangat merugikan warga papua,sebagian mereka ada yang mendapat luka-luka,bahkan
ada korban yang meninggal.Selain itu,Jhone Wonda, salah satu koordinator pengungsi ketika ditemui mengatakan,
dirinya bersama 232 warga terpaksa harus mengungsi ke Sentani, pasalnya di
Distrik Kwamki Narama sudah tidak aman lagi, meskipun diakuinya warga
menggunakan biaya sendiri untuk naik pesawat ke Sentani Kabupaten Jayapura.Dan
sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti perpecahan ini terjadi.[1]
Bagaimana bisa kericuhan terjadi di
dalam negeri sendiri? Sesama saudara saling mencaci dan memaki, sungguh ironis
bukan? Padahal didalam poin yang terdapat pada pancasila sudah jelas bahwa
Indonesia harus bersatu (sila ke 3),seperti halnya kerap terjadi pertumpahan
darah antar suku di papua belakangan ini,bukan hanya kasus di papua ini,sungguh
sudah banyak kasus yang mencemarkan nama pancasila.
Disamping itu,kasus ini juga
menyimpang dari penerapan nilai pancasila sila ke 2,yaitu korban yang terkena
imbas nya adalah ibu-ibu dan anak-anak yang tidak berdosa,sungguh tidak
manusiawi.Kasus ini juga menyimpang dari penerapan nilai pancasila sila ke 4,
seharusnya mereka memusyarahkan dahulu permasalahan mereka, tidak dengan
menyerang secara tiba-tiba dengan emosi yang meluap.
Kasus tersebut bukan hanya
menyimpang dari penerapan nilai pancasila,namun juga pastinya mencemarkan nama
Indonesia yang dianggap Negara lain sebagai negara bermacam-macam budaya yang
bisa bersatu dengan slogan ke BHINEKA TUNGGAL IKA-an nya.Kalau sudah seperti
ini , siapa yang mau disalahkan? Pemerintah? atau mungkin rakyat? Bukan salah
satu dari keduanya yang salah , tapi kita semua yang mengaku berbangsa
indonesialah yang salah.Kita harus menanam kan di dalam hati kita nilai-nilai
pancasila dengan tulus,agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang
kembali,begitu juga dengan pemerintah yang harus tegas dalam menyikapi
kasus-kasus perpecahan antar suku di daerah-daerah Republik Indonesia ini,agar
kedepannya Indonesia bisa damai.Damai itu indah bukan? Dengan perdamaian, hidup
kita bisa tentram dan aman,serta tidak ada lagi korban yang berjatuhan karena
perpecahan.
Kesimpulan : jika dipandang dari nilai-nilai pancasila, kasus-kasus
ini sangat bertentangan ,contoh nya dengan sila ke dua dan sila ke empat yang
menyatakan bahwa rakyat Indonesia harus bersikap adil dan mempunyai adab serta
selalu menyelesaikan permasalahan dengan musyawarah yang dapat diambil
keputusan bersama.Tidak seperti kasus yang diatas yang langsung emosi dan
bertindak anarkis saat kedua suku tersebut berselisih paham.Solusi agar kasus
ini tidak terulang kembali adalah dengan menindak tegas pelaku yang memprovokasi(bagi
pemerintah) dan dengan menanamkan nilai-nilai pancasila di hati dengan tulus
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Rujukan
4. http://news.okezone.com/read/2016/02/25/340/1320731/lima-konflik-sara-paling-mengerikan-ini-pernah-terjadi-di-indonesia