Kamis, 02 Februari 2017

Analisa kasus perpecahan antar suku dipandang menurut nilai-nilai pancasila


Sebagai negara kepulauan terbesar Indonesia memiliki banyak RAS, suku dan budaya beragam. Menurut badan riset, data suku-suku yang ada di Indonesia mencapai kurang lebihnya lebih dari 300 kelompok suku atau etnik. Namun dikarenakan banyaknya suku yang berbeda dengan budaya yang berbeda pula, seringkali terjadi konflik yang melibatkan konflik anatar suku yang menjadi suatu perstiwa yang tidak bisa dihindarkan lagi.
Konflik merupakan hal atau masalah yang lazim atau biasa terjadi di lingkungan masyarakat. Dimana lagi-lagi perbedaan menjadi latar belakang yang mendasar dalam setiap konflik perang  antar suku di Indonesia. Peperangan antar suku akhir-akhir ini menjadi bahan pekerjaan pemerintah untuk menetralisir kekisruhan yang sering terjadi khususnya peperangan antar suku. Konflik tersebut terjadi karena saking beragam nya suku-suku di Indonesia dan berawal dari banyaknya suku-suku yang ada tersebut konflik-konflik pembeda atau masalah budaya yang berbeda dan variatif mulai bermunculan.
Salah satu contoh dari konflik yang sempat menarik perhatian adalah perang suku antara suku Dayak dan Madura. Peperangan antara Suku Dayak dan Madura menimbulkan sebuah pergeseran moral tentang bagaimana seharusnya saling menghargai perbedaan. Nyawa bukan lagi menjadi hal yang mahal saat itu. Pemenggalan terhadap kepala manusia saat itu seolah menjadi bukti bahwa kebencian telah benar-benar mengerikan. Penyebab terjadinya perang kedua suku ini yaitu karena perbedaan budaya antara Suku Dayak dan Suku Madura, perilaku yang tidak menyenangkan, pinjam meminjam tanah dan ikrar perdamaian yang dilanggar. Kejadian ini memang telah lama berlalu. Tapi konflik tersebut bagaimanapun akan tetap meninggalkan kesan mengerikan yang mendalam bagi masyarakat kedua suku tersebut.
Setiap suku tentu memiliki budaya, adat-istiadat dan kebiasaan tertentu yang beragam. Keanekaragaman tersebut tentu memabawa dampak dan kosekuensi sosial yang beragam pula. Jika hal ini tidak dapat disikapi dengan baik maka perbedaan tersebut justru akan terus manjadi faktor utama penyebab terjadi perang antar suku.Setiap suku akan menginterpretasikan budaya yang mereka miliki dalam lingkungannya sehingga terciptalah stereotip yang dapat mengakibatkan lestarinya perbedaan. Penonjolan strereotip suatu suku amat berbahaya. Namun faktanya, stereotip dan stigma buruk itu tetap hidup. Bahkan, tanpa disadari kian meluas. Bahaya karena hal ini dapat menimbulkan pepecahan perang antar suku pun menjadi hal yang tak bisa dihindarkan.
Stereotip orang Madura dalam pengetahuan orang Indonesia kadang identik dengan watak yang kasar dan keras. Sering menyelesaikan masalah dengan emosi, mengakhiri sengketa dengan cara duel maut yang berunjung kematian. Penyebabnya adalah dendam atau pembalasan pihak keluarga dan kerabat yang terluka hingga tewas. Walaupun stereotip itu keliru dan berbahaya, hal tersebut seakan melekat dalam benak keindonesiaan kita. Itulah yang sering memicu terjadinya kerusuhan etnis atau suku di Indonesia bahkan berkembang menjadi perang antar suku.
Konflik sering terjadi di kalangan masyarakat karena manusia makhluk sosial dan memiliki beragam pemikiran dan cara masing-masing untuk bersosialisasi. Konflik tersebut biasanya terjadi karena hal sepele seperti prasangka negatif tapi berhubung menyangkut RAS atau budaya maka rasa simpati antar sesama budaya yang membuat peperangan tersebut menjadi bukan hal yang sepele lagi bahkan hingga terjadinya perang antar suku. Oleh karena itu saya memuat makalah dengan mengangkat judul Konflik Antar Suku di Indonesia yang merupakan wujud dari prasangka, diskriminasi dan etnosentrisme.
Suatu konflik khususnya yang terjadi antar suku umumnya didasari oleh tiga hal yaitu prasangka, diskriminasi, dan etnosentrisme. Tiga hal ini menjadi faktor utama yang melatar belakangi terjadinya koflik antar suku yang berujung kepada perang antar suku. Prasangka yang buruk terhadap suku lain menjadi sangat umum di indonesia hal tersebut dilatarbelakangi sikap etnosentrisme suatu suku. Sikap ini menimbulkan prasangka terhadap suku lain sehingga terjadinya diskriminasi sosial. Diskriminasi sosial yang berkelanjutan inilah yang dapat menimbulkan konflik  yang berujung kepada perang antar suku.Selain disebabkan oleh ketiga hal itu beberapa ahli juga memaparkan faktor-faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar suku.
Faturochman menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik etnis terjadi disebuah tempat. Enam hal tersebut antara lain yakni:
1)      Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak
2)      Perebutan sumber daya
3)      Sumber daya yang terbatas
4)      Kategori atau identitas yang berbeda
5)      Prasangka atau diskriminasi
6)      Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Konflik antar etnis yang terjadi dapat dikatakan karena kepentingan beberapa oknum atau pihak yang memang bertujuan untuk mengambil untung dari konflik tersebut. Etnis etnis yang saling berkonflik sangat mudah di adu domba karena memang sumber daya manusia yang terbatas. Dalam arti pendidikannya kurang dan tingkat ekonomi yang rendah. Seharusnya dari masing masing kepala daerah yang ada di wilayah konflik tersebut harus tegas membuat atau merealisikan kebijkan ketika terjadi sebuah konflik antar etnis.
 Dalam konteks Indonesia sendiri, kita kerap kali mendengar terjadinya konflik antar etnis. Sebenarnya akar dari konflik ini adalah keterbelakangan dari masyarakat di wilayah konflik tersebut. Sementara itu, Sukamdi menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama,yaitu:
1)      Konflik muncul karena ada benturan budaya
2)      Karena masalah ekonomi politik
3)      Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.

Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan.Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.

Selain perpecahan suku yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura yang berbeda provinsi, terjadi juga perpecahan antar suku dalam satu provinsi yang sama yaitu perpecahan di Papua.
Seperti yang terjadi sejak tanggal 24 juli 2016 di wilayah Iliale, Kampung Tunas Matoa, Distrik Kwamki Narama, Kabupaten Mimika .Kasus ini sangat merugikan warga papua,sebagian mereka ada yang mendapat luka-luka,bahkan ada korban yang meninggal.Selain itu,Jhone Wonda, salah satu koordinator pengungsi ketika ditemui mengatakan, dirinya bersama 232 warga terpaksa harus mengungsi ke Sentani, pasalnya di Distrik Kwamki Narama sudah tidak aman lagi, meskipun diakuinya warga menggunakan biaya sendiri untuk naik pesawat ke Sentani Kabupaten Jayapura.Dan sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti perpecahan ini terjadi.[1]
Bagaimana bisa kericuhan terjadi di dalam negeri sendiri? Sesama saudara saling mencaci dan memaki, sungguh ironis bukan? Padahal didalam poin yang terdapat pada pancasila sudah jelas bahwa Indonesia harus bersatu (sila ke 3),seperti halnya kerap terjadi pertumpahan darah antar suku di papua belakangan ini,bukan hanya kasus di papua ini,sungguh sudah banyak kasus yang mencemarkan nama pancasila.
Disamping itu,kasus ini juga menyimpang dari penerapan nilai pancasila sila ke 2,yaitu korban yang terkena imbas nya adalah ibu-ibu dan anak-anak yang tidak berdosa,sungguh tidak manusiawi.Kasus ini juga menyimpang dari penerapan nilai pancasila sila ke 4, seharusnya mereka memusyarahkan dahulu permasalahan mereka, tidak dengan menyerang secara tiba-tiba dengan emosi yang meluap.
Kasus tersebut bukan hanya menyimpang dari penerapan nilai pancasila,namun juga pastinya mencemarkan nama Indonesia yang dianggap Negara lain sebagai negara bermacam-macam budaya yang bisa bersatu dengan slogan ke BHINEKA TUNGGAL IKA-an nya.Kalau sudah seperti ini , siapa yang mau disalahkan? Pemerintah? atau mungkin rakyat? Bukan salah satu dari keduanya yang salah , tapi kita semua yang mengaku berbangsa indonesialah yang salah.Kita harus menanam kan di dalam hati kita nilai-nilai pancasila dengan tulus,agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali,begitu juga dengan pemerintah yang harus tegas dalam menyikapi kasus-kasus perpecahan antar suku di daerah-daerah Republik Indonesia ini,agar kedepannya Indonesia bisa damai.Damai itu indah bukan? Dengan perdamaian, hidup kita bisa tentram dan aman,serta tidak ada lagi korban yang berjatuhan karena perpecahan.







Kesimpulan : jika dipandang dari nilai-nilai pancasila, kasus-kasus ini sangat bertentangan ,contoh nya dengan sila ke dua dan sila ke empat yang menyatakan bahwa rakyat Indonesia harus bersikap adil dan mempunyai adab serta selalu menyelesaikan permasalahan dengan musyawarah yang dapat diambil keputusan bersama.Tidak seperti kasus yang diatas yang langsung emosi dan bertindak anarkis saat kedua suku tersebut berselisih paham.Solusi agar kasus ini tidak terulang kembali adalah dengan menindak tegas pelaku yang memprovokasi(bagi pemerintah) dan dengan menanamkan nilai-nilai pancasila di hati dengan tulus dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

















Rujukan



4.    http://news.okezone.com/read/2016/02/25/340/1320731/lima-konflik-sara-paling-mengerikan-ini-pernah-terjadi-di-indonesia